Ada yang Meninggal di Kamar Mandi
Siang menjelang sore, saya berjalan berpeluh keringat di sebuah jalan yang cukup besar untuk dilalui satu mobil. Lelah, setelah memutar otak di kampus, ditambah perjalanan menuju indekos yang lumayan jauh. Jarak dari kampus ke indekos, sama seperti cerita masa SMA yang pernah diceritakan di sini juga. Untungnya, cuaca nampak mendung, sehingga saya tidak terlalu dehidrasi berlebihan.
Setibanya di ruang indekos yang alakadarnya, tanpa banyak mondar-mandir, merebahlah saya di kasur kecil. Capek, ingin tidur, tanpa bermimpi apapun. Benar-benar mau menghabiskan waktu untuk beristirahat.
Setelah satu jam lebih sedikit, kira-kira pukul empat sore, bapak penjaga indekos menggedor pintu kamar saya dan kamar sebelah. Saya kira beliau menyuruh kami salat, karena kadang beliau memang selalu mengingatkan. Namun gedorannya sore itu terlampau kasar. Ketika pintu saya buka, wajahnya nampak sangat panik juga. Ia sedikit tergesa-gesa, berusaha menghela napas lebih dulu.
Ternyata ia menggedor pintu, karena bapak yang saya lupa namanya, mendadak meninggal di kamar mandi. Bapak penjaga, saya, dan teman satu indekos, panik bukan main. Apalagi saat bapak penjaga bilang bahwa sang mayat mengeluarkan banyak darah dan bau anyir. Kami bertiga seolah sepakat, kami tak akan mengangkatnya keluar. Bukan tidak punya rasa empati, melainkan juga berjaga-jaga dari misinformasi. Kami tidak mau dikira pembunuh, gara-gara sidik jari menempel di tubuh mayat itu.
Sebelum lanjut, kamu harus tahu bahwa indekos yang saya tempati hanya menyisakan lima penghuni saja, yang awalnya lebih dari dua puluh. Sebagian besar pergi, karena mereka kesal ditipu penjaga indekos sebelumnya. Ceritanya lumayan panjang dan menyakitkan, jadi tidak usah diceritakan.
Lanjut ke cerita.
Sebagai gantinya, kami langsung saja melaporkan keadaan mengerikan itu, ke masyarakat sekitar indekos. Berbondong-bondonglah mereka menyatroni kami. Ada yang menjadi detektif dadakan, ada yang mengobrol soal indekos yang katanya ilegal ini, ada pula yang menelepon kantor polisi. Bahkan dari sekian banyak aktifitas tersebut, takada satupun yang berani membawa mayat keluar. Ya seperti yang dijelaskan tadi, takut disalahkan polisi.
Beberapa saat kemudian, polisi dan wartawan Trans7 daerah Jawa Barat, datang hampir beriringan. Keduanya melakukan tugas masing-masing. Sialnya, satu orang penghuni indekos tadi, pergi dijemput penghuni indekos itu juga, karena terlalu panik. Alhasil saya dan bapak penjaga diwawancarai polisi, habis-habisan, bergantian. Jujur saja saya agak gugup saat itu, tapi ya sudahlah. Lagipula saya juga kasihan kalau meninggalkan bapak penjaga sendirian.
Mayat yang sudah agak lama terbaring di toilet, kemudian diangkat polisi dan ditaruh di kantung mayat. Tempat kejadian perkara langsung saja dibersihkan, tanpa ada penyelidikan lebih lanjut. Sebab salah satu dokter yang juga datang, menyatakan bahwa beliau meninggal karena TBC atau tuberkulosis. Lega, bercampur duka.
Pukul tujuh malam menjelang, satu penghuni indekos lain baru pulang. Pasca mendengar kejadian sore tadi, ia nampak berduka, alih-alih ketakutan juga. Maklumlah, ia anggota himpunan sekaligus anggota komunitas mahasiswa Islam. Jadi, rasa duka terhadap bapak yang meninggal tadi jauh lebih diutamakan, dibanding cerita di belakangnya.
Lagipula, almarhum meninggal bukan karena hal yang tidak-tidak. Murni karena penyakit TBC yang beliau alami. Seharusnya ia bisa selamat kalau saja ketika jatuh, kepalanya tidak lebih dulu membentur lantai. Itu menurut beberapa warga. Tapi begitulah takdir, kita tidak bisa mengatur sesuka hati.
Bapak penjaga dan teman saya kemudian pergi, meninggalkan saya sendiri. Mereka ingin menjenguk almarhum di rumah sakit. Sedangkan saya disuruh diam di sana, berjaga-jaga saja. Mereka bukan tega, tapi memang terpaksa. Motor di garasi cuma ada satu. Tentu saja, keadaan itu membuat saya keringat dingin. Siapa pula yang mau berdiam diri sendirian, pasca kejadian mengerikan?
Meneleponlah saya ke salah satu teman yang juga anak kosan. Bermaksud tidur malam ini, di tempatnya. Agak jauh dari tempat saya, namun untung saja ia bersedia. Terlebih saat saya menceritakan kejadian yang tidak pernah saya bayangkan, akan saya alami sendiri.
Sekitar pukul sembilan malam, datanglah ia dengan tawa kecil penuh penasaran, sekaligus agak meledek. Saya tidak banyak bicara, saya hanya ingin pergi jauh dari tempat itu secepatnya. Sore yang seharusnya dihabiskan untuk beristirahat, justru berakhir dengan kisah penemuan mayat. Semoga beliau husnul khotimah.
Sebulan menetap sendirian
Beberapa minggu setelah itu, penghuni indekos hanya tersisa dua, ditambah bapak penjaga. Namun pada kenyataannya, indekos itu hanya sisa satu penghuni saja. Hanya saya. Sebab bapak penjaga jarang menengok indekos lagi selepas kejadian itu, sedangkan teman satu-satunya di indekos lebih sering tidur di kampus atau indekos teman satu jurusan.
Saya sebenarnya ingin cabut dari tempat mengerikan itu. Tapi saya berpikir ulang tentang uang yang sudah dibayarkan bapak saya di sana. Meskipun saya hanya baru menyewa kamar selama tiga bulan, namun hal itu tetap saya perhitungkan. Lebih baik merasa takut setiap malam, daripada membuang uang yang sudah dibawa kabur bapak penjaga sebelumnya.
Bukan hanya karena alasan uang saja. Sisa satu bulan itu juga sangat bertepatan dengan ujian mata kuliah drama. Jika kamu anak sastra, mungkin kamu paham maksudnya. Ya, saya harus sering berlatih berperan, sebelum pentas drama dimulai. Kalau saya pulang ke rumah, akan terasa lelah pastinya. Bisa-bisa penyakit tifus saya kumat juga.
Selama satu bulan tersisa, memang terasa begitu menyiksa. Bayangkan saja, saya berlatih sehabis isya sampai hampir jam sebelas. Bahkan bisa sampai setengah dua belas. Lalu, pulangnya disambut gedung gelap nan angker. Setiap hari harus selalu parno, bahkan saat mau membuka pintu rumah. Apalagi sering kali pintu utama susah sekali dibuka. Artinya saya harus membuka gerbang garasi, yang mengarahkan saya melewati kamar mandi. Kamar mandi yang jadi saksi orang mati.
Panik gak? Panik gak? Paniklah, masa nggak?!
Begitulah kira-kira kalimat yang tepat jika hari ini, saya masih berada di sana sendirian. Betul-betul pengalaman yang mengerikan.
Kadang kala, akibat parno yang berlebihan, saya sempat beberapa kali merasa "ditemani". Terdapat tiga lantai di indekos itu, dan saya berada tepat di lantai dua. Suara-suara seperti melangkah sering terdengar di lantai bawah. Gedoran pintu yang amat keras, datang dari lantai tiga.
Bahkan saya pernah membuat story video di WhatsApp, yang kebetulan menangkap suara dari lantai atas. Banyak yang merespon, ikut-ikutan merinding. Gedoran itu terlalu keras untuk cuaca yang sangat tenang. Banyak pula yang menenangkan, menyuruh cepat tidur dan berdoa. Apalagi bulan itu memang seharusnya tak boleh ada setan-setanan. Bulan itu, sudah memasuki Ramadan.
Setiap ingin sahur, saya sering kali memasak di dapur yang letaknya di lantai satu, dekat kamar mandi. Saya biasa memasak antara pukul dua tiga puluh, sampai tiga pagi. Tergantung jenis masakan yang ingin dibuat.
Namanya juga manusia, merasa takut akan selalu menerpa, bahkan di bulan puasa. Di sela memasak, hati selalu berkecamuk. Antara tidak boleh melirik kamar mandi, atau diserang penasaran. Mungkin ada yang sedang mengintip di ujung pintu kamar mandi. Menarik kaki saya, digusur sampai masuk wastafel. Beuh, imajinatif sekali pikiran saya.
Dua minggu sebelum semester berakhir, saya mulai bisa tenang dan terbiasa. Kesan horor semakin mereda, mulai merasa seperti raja. Punya rumah besar, dan hanya saya saja penghuninya. Takada lagi halusinasi, takada lagi gangguan apapun. Semua saya jalani dengan ikhlas dan khidmat.
Semesterpun berakhir. Malam terakhir setelah malam pentas, saya habiskan dengan beres-beres pakaian. Agak kacau otak saya sebetulnya, sebab hari itu gempa bumi sempat terjadi. Takut gempa susulan datang tiba-tiba. Tapi sudahlah, saya terlalu lelah dan ingin tidur saja. Kalaupun harus meninggal ditimpa tembok rumah, setidaknya saya membawa amal keikhlasan menghadapi semua hal di sana.
Subuh hari, kakak pertama saya datang menjemput. Saya pergi meninggalkan indekos penuh cerita itu. Memang lebih banyak kejadian mengerikan, namun hal itu tetaplah bakal jadi kenangan. Saya pamit, tanpa ada yang mengetahuinya.
2 komentar
ya 3 bulan biar bagai raja karena ngekos ndirian tali tetep aja tiap liat kamar mandi selalu terbayang kan biar kata almarhum meninggal karena tbc walau sampai mengeluarkan darah (mana sempat heboh ada kepolisian dan trans7 lagi ya mas)....wah komplet deh cerita horrornya...
o itu kamar mandi berarti cuma satu apa lebih, jadi mandi dllnya tetep di situ kan?
Iya sih emang kayak orang kaya aja sendirian di sana. Tapi kalau udah malemmah kayak dukun penjaga rumah angker. Suka keringetan sendiri. Pas diwawancara polisi saya hampir dicurigai juga, gara" kepeleset lidah salah sebut nama. Untung bapak penjaga kos langsung nyaut bantuin. 😂
Kamar mandi sih ada 8, kamar mandi kecil semua. 3 di bawah, 3 di lantai 2, 2 di lantai 3. Yang jadi masalah itu dapurnya Kak. Di lantai 1 dekat kamar mandi. Jadi mau gak mau ya harus masak di sana. Tapi kalau udah takut banget, apalagi malam jumat, suka masak di kamar, pake rice cooker.