Dulu, kalau kamu belum tahu, Alun-alun Bandung hanyalah sebidang tanah yang dibatasi seng-seng panjang. Di dalamnya, para pejuang recehan saling beradu suara menjajakan makanan, nyaringnya penggorengan, panas terik matahari, suara macet jalanan, melihat keringan bercucuran, serta hal tidak enak didengar lainnya. Lagi, para pedagang kaki lima juga nampak duduk di tiap sudut teras masjid raya Bandung. Semua dilakukan demi mendapatkan segepok uang seribuan. Kalau beruntung, kamu bisa saja mendapatkan momen para PKL ini dikejar-kejar Satpol PP, yang kemudian dagangannya digusur ke mobil besar. Sebuah pemandangan yang pasti tidak akan membuatmu betah.
Lantas, selepas perombakan habis-habisan Pak Ridwan Kamil, kemanakah mereka sekarang? Para pedagang kaki lima itu?
Mari saya antarkan, menuruni tangga menuju dunia bawah kota, Basemen Alun-alun Kota Bandung. Di sanalah sebagian besar dari mereka tinggal dan menetap untuk jualan, tanpa harus was-was digusur para penjaga keamanan. Di sanalah, kisah ini di mulai.
Abstrak
Perkenalkan, mereka adalah para penghuni basemben yang tangguh. Kumpulan manusia yang rela diterpa gerah demi sekoin rupiah. Tentu, kamu harus bisa paham mengapa banyak pedagang di sana terlihat jorok, bahkan seperti gembel. Kain serta kulit punggung yang menyatu efek keringat, ketiak basah, bau menyengat, tampang-tampang kumel dan tak terurus. Mereka mandi, memakai sabun dan wewangian, tapi keadaan basement tak membuatnya permanen.
Berbagai jenis makanan bisa kamu temukan di tempat yang pada dasarnya adalah tempat parkir itu. Beragam minuman dingin maupun tidak, gorengan, cilok, jasuke, batagor, seblak, mie ayam, nasi goreng, nasi padang, baju-baju, boneka, hingga pernak-pernik hiasan badan.
Ketika orang-orang berlalu lalang, seperti biasa mereka akan saling beradu suara. Saling bersaing (secara sehat) antara dua PKL dengan jenis jualan yang sama, sudah biasa. Berharap kamu yang mungkin sedang berada di sana, datang dan membeli dagangannya.
Kamu harus tahu, kadang mereka akan sangat kecewa ketika tak ada satupun yang menghampiri dagangannya. Kamu harus tahu bahwa ketika jualan tidak habis, jualan itu akan didiamkan saja sampai ada orang yang mengambilnya di tengah malam. Hal itu hanya dilakukan untuk makanan-makanan yang memang akan basi jika besok dijual kembali. Makanan itu kadang diambil pedagang lain, kadang diambil tunawisma.
Kumuh
Apa yang kamu temukan ketika sedang berada di bawah basemen? Lebih sering menemukan ketenangan dan mobil-mobil berjejeran bukan? Hal tersebut pasti tidak akan pernah kamu temui di sini. Selain para penghuninya, keadaan basemen Alun-alun kota Bandung memang terkesan kumuh. Kadang kala kamu bakalan menemukan jalanan berlubang yang bahkan didapati genangan yang baunya minta ampun. Sampah-sampah juga berserakan di beberapa tempat. Mobil-mobil yang tentu bukan milik salah satu dari mereka, berjejer kurang rapi, sebetulnya. Kalau kamu pelupa, kamu tentu bingung di mana kendaraan kamu ditaruh.
Keadaan basemen alun-alun Bandung sudah serasa jadi pasar saja. Tidak ada ketenangan, tidak ada muda-mudi "iseng" menggenjot-genjot kendaraan.
Persaudaraan
Bersaing memang tidak bisa dihindarkan, tapi persaudaraan takkan pernah terputuskan. Para penghuni basement di sana selalu akan saling bertegur sapa setiap harinya. Nyeletuk saling serang materi lucu, menyinggung halus tanpa mudian, bahkan berbicara masalah busuk negeri ini.
Merupakan hal biasa juga jika menemukan pedagang yang mengambil jualan pedagang lainnya. Mengambil sesuka hati mereka. Tentu hal tersebut biasa dilakukan karena memang sudah saling mengerti. Jangan khawatir, mereka tentu akan membayar yang sudah diambil. Bukan saudara namanya, jika gampang mengambil tanpa mau bertanggung jawab.
Basemen Alun-alun Bandung sudah jadi rumah kedua bagi mereka. Hampir dari seluruh pedagang di sana, sudah saling mengenal baik dan telah menjadi satu keluarga dekat. Saking dekatnya, kalau ada satu orang pedagang yang akan mengadakan acara besar di tempat tinggalnya, yang lain pasti akan menghadirinya. Hadir bukan sebagai tamu biasa, tapi sebagai keluarga. Tidak pernah dianggah sebagai tamu gembel yang hanya pedagang kaki lima, tapi tamu istimewa.
Saya tahu kedekatan soal mereka, karena saya juga bagian dari keluarga penghuni basement. Bukan sebagai pedagang, tapi sebagai anak salah satu pedagang. Kalau kamu beruntung, di setiap libur panjang, kamu akan bertemu saya di sana duduk merenung atau sedang sedikit membantu berjualan. Lapak bapak atau kakak laki-laki saya tepat berada di sisi kanan toilet basement. Ciri-ciri lapaknya, banyak minuman berjejer pokoknya. Jika kita saling kenal melalui tulisan ini, bolehlah menyapa, saya tak segan-segan akan menyapa balik. Wahaha... kok terkesan merasa jadi selebritis.
Antara taman dan basemen alun-alun, sudah jadi dua situasi yang saling bersinggungan. Keindahan alun-alun kota Bandung seolah terikat erat dengan nasib sedikit miris para penghuni basement. Di atas adalah kumpulan orang-orang yang sedang bahagia, sedangkan di bawah adalah para pedagang yang berharap bahagia. Sebuah dongeng yang biasa kamu temukan di novel, namun versi live action-nya.
Sumpek, gerah, jengkel, memang akan kamu rasakan ketika berada di bawah sana. Pedagang-pedagang kadang sesekali seakan sedang menggoda. Tapi jangan takut, mereka sebenarnya tahu aturan juga. Pendidikan formalnya memang banyak yang biasa saja, tapi mereka masih punya norma. Mereka ramah dan sudah biasa terbuka. Bahkan jika kamu ingin dekat dengan salah satu di antaranya, lama-lama kamu akan nyaman dan seolah sudah jadi bagian dari keluarga.
Begitulah sedikit kisah para penghuni basemen alun-alun. Di balik ikon kota yang indah, terdapat banyak kisah yang tak kalah indah di bawahnya. Kamu wajib mengunjungi mereka di sana.
2 komentar