Selamat sore, 2020. Sejak Januari, di minggu pertama, kau dan aku sempat sama-sama takut. Takut dengan apa saja yang akan dihadapkan pencipta pada kita. Takut kalau-kalau hidup nyatanya sesingkat yang kita berdua pikirkan. Takut bahwa perjuangan yang selama ini dihadapi, harus berakhir tahun ini.
Kau dan aku juga sama-sama disalahkan. Disalahkan dengan keadaan yang tak pernah disangka pikiran. Tiap orang menghitung angka-angka di kalender, lalu kudengar banyak memakimu. Bahwa selama ini kau adalah tahun terburuk yang pernah umat manusia hadapi. Kau seolah mati suri dalam ruang bernama pandemi. Sama, beberapa orang juga sering kali menghitung tiap-tiap angka, kapan kiranya aku terbebas dari jerat bernama kuliah. Memejam mata, yang tidak disangka jadi duka. Kita sama-sama sembab, berusaha memamahi ketidaktahuan ini.
Di pertengahan bulan, kemudian kita saling bersinggungan. Aku jadi ikut-ikutan menyalahkan ketidaksalahanmu. Kedua bola mataku memerah, tapi sama sekali tak mengeluarkan airmata. Hanya dibuat sesak, tapi terasa begitu sakit. Sampai akhirnya, kuhardik, "mengapa kau tak pernah lahir saja?! Jangan membuat penderitaan, yang hampir saja sedikit bisa berakhir!"
Seakan tak mau peduli, kau malah terus menapak tenang, melewati berbulan-bulan kalender. Jejak rasa sakit itu hanya kau anggap bualan manusia penuh dosa saja. Tangis, kau sangka iba penuh drama. Sisi kemanusiaan yang kau lihat selama ini, malah kau anggap kebohongan dari makhluk yang katanya sempurna.
Kuperhatikan setiap detik luka manusia. Rasisme menggetarkan seluruh dunia, agama diadu domba, konspirasi-konspirasi dunia maya, sampai pada pemimpin yang tak kunjung mau bicara terbuka. Sedangkan kau, kusangka hanya bisa tertawa, tidur lelap, lalu kembali bangun dengan skenario luka lainnya.
Lalu, pada dua bulan terakhir, aku kemudian cukup kembali mengerti. Kau bukanlah kesalahan utama dari keterpurukan ini. Aku menyadari, harusnya aku introspeksi. Nyatanya, akulah yang terlalu mencemaskan ketakutan yang entah siapa dalangnya. Aku masih belum bisa bangkit mengalahkan resah, aku masih tak kunjung bangun dari terlelap, aku masih sibuk memahami orang lain, mengabaikan diri sendiri, aku masih sangat angkuh dengan kebisaan dan kesoktahuan.
Ya, aku masih belum dewasa. Kami belum jua dewasa. Sejatinya, aku sadar sejak pertama kali kau menyapa. Mungkin saja kau ingin aku belajar banyak hal sekaligus, dalam setahun ini. Menerima takdir, kemudian berpikir. Berpikir bagaimana caranya beradaptasi dengan hal baru yang tak pernah disangka, sebelum pada akhirnya aku hidup mandiri tanpa orang tua.
2020, kau tak pernah salah. Maafkan atas ketidakmauanku mengalahkan ego. Pergilah tengah malam ini dengan tanpa berbekal rasa cemas padaku. Besok pagi aku akan bertemu tahun baru, 2021. Jangan khawatir, aku, meski tak setabah dirimu, masih bisa menapak jejak mimpi yang tak kunjung bertemu. Maka, pulanglah, istirahatlah dengan damai, tugasmu sudah selesai.
Good luck, and bye.
8 komentar
Kalimat yg dalam sekali mas😫
Makasih Awl. Ini gara" rekomendasi genre Lo-Fi yang Awl kasih, jadi pikiran lama-lama jadi terbuka dan menenangkan.
See you 2020.
Harus belajar menerima dengan lapang dan mulai ambil tindakan gitu kali ya Mas. Tulisannya sangat mewakili apa yang tengah aku alami juga .salam kenal Mas Nandar
Syukurlah kalau mewakili. Salam kenal juga kak Mizz. Maaf, kalau namanya salah. 😅