Capek, menyaksikan acara 5 tahunan dengan biaya yang jelas tak murah, kemudian hanya berujung tidak pernah adil dan malah menyejahterakan diri sendiri. Bukannya rakyat. Capek menyaksikan kekisruhan kasar maupun halus di setiap perhelatannya. Kok bisa, calonnya bobrok, pemilihnya gob...pinter.
Setiap sekitar seminggu menjelang pemilihan, atau ketika fajar tiba, selalu saja terjadi budaya khas politik bangsat kita. Perdebatan dunia maya misalnya. Bukannya berdebat soal visi misi tuannya, orang-orang gila politik uang di sana justru menyerang aib hingga keluarga. Mereka-mereka itu dikenal nama "Buzzer" tuan tanah. Lain lagi dengan pelaku di jalanan, yang sering rusuh tanpa penjagaan. Bukan rusuh gontok-gontokan, melainkan rusuh bagi-bagi uang "pengesahan."
Apa yang sebenarnya terjadi dengan metode pemilihan umum kita? Bukannya memilih adalah sebuah kebebasan yang tak boleh dipaksa? Bahkan yang saya amati sendiri, akronim LUBER JURDIL sudah lama meluber dan mengerdil. Padahal edukasi dua akronim itu sudah diajarkan sejak kecil, eh pas dewasa malah dipotong bak kutil.
Hari ini, tanggal 9 Desember 2020, semangat memilih calon pemimpin baru benar-benar sirna sudah. Tatkala beberapa kasus korupsi yang melibatkan petinggi tertinggi, tampil di berita. Kosakata membela seolah anti korupsi, hanya buang-buang buih di sela mulut saja. Akhirnya, inilah mosi tidak percaya. Saya masih ikut antre mengambil hak pilih. Tapi, saya memilih dengan "seadil-adilnya". Mengerti? Tidak? Yowis, tidak apa.
Memang tak adil jika mengambil contoh dari orang lain, kemudian mengorbankan hak pilih lain. Karena siapa tahu, wakil yang hari ini mencalonkan, ada salah satu yang benar-benar taat kerakyatan. Tapi sudahlah, toh satu orang rakyat kurang waras tidak akan mempengaruhi segalanya. Kau tahu, politikus mempelajari beragam cara demi menggaet rakyat jelata. Baik yang baik, maupun yang maupun.
Buat siapapun yang terpilih, segeralah beristighfar. Tanggungan daerahmu ada dipundakmu sekarang. Caw!
1 komentar