"Apaan sih, baperan!" Begitulah kira-kira kalimat yang biasa terucap dari mulut seorang "ahli lawak". Seseorang yang berusaha sok asyik di depan orang banyak, dengan menyerang fisik dan mental satu orang terlemah dalam kumpulan tersebut. Kalimat yang juga seolah menjadi stempel resmi bahwa, saling hina itu tidak apa-apa. Tidak peduli dengan kenyataan, tingkat baper orang berbeda-beda.
Ucapan di atas biasanya memang sering keluar dari mulut para penyuka lawakan fisik maupun mental orang lain. Tak peduli apakah dia kenal dekat, atau tidak kenal sama sekali. Tidak peduli respon yang dihina biasa saja, atau malah jadi sakit hati luar biasa. Yang penting "jokes" sampai, dan lucu buat kaum-kaum yang punya ideologi mirip dengannya. Ketika jokes-nya menyakiti hati, maka muncullah tameng kalimat murahan bernama "baperan" ini.
Sebenarnya untuk saya pribadi, humor dengan teknik menghina fisik maupun mental, bisa sah-sah saja. Dengan syarat utama, pelaku dan korbannya benar-benar sudah saling kenal dekat. Bahkan sudah dianggap keluarga. Sehingga, ketika saling hina fisik, justru obrolan bisa tambah asyik. Namun, ini bukan pula berarti saling menghina diperbolehkan. Karena kembali lagi pada konsep awal, tingkat baperan orang berbeda-beda. Dan sebagai orang paling dekat, tentu kita musti berjaga-jaga dan saling memahami saja.
Umumnya, rasa baper akibat hinaan bisa muncul akibat tidak saling mengenal satu sama lain (menurut pengalaman pribadi). Misal si A yang hanya kenal nama, tiba-tiba saja sering mengejek si N. Ejekan si A ini benar-benar tanpa riset psikologi sederhana sama sekali. Akibatnya, si N yang heran dengan perilaku si A yang sok asyik itu, merasa terhina. Tidak pernah nongkrong dan ngobrol sehati, kok tiba-tiba menyakiti hati.
Anehnya, pasca penghinaan itu, si A tak pernah merasa berdosa melihat si N yang merasa sakit hatinya. Justru, si A menambah amunisinya dan menyerang dengan kalimat itu tadi, "kok, baperan sih?"
Ini benar-benar sulit dicerna akal sehat saya. Kok bisa-bisanya, orang yang menghina malah merasa benar. Kok bisa-bisanya, tingkat baperan orang lain disamaratakan dengan dirinya. Iya, saya tahu mental dia bukan mental tahu susu, tapi bukan berarti wajib menyamaratakan kesenjangannya, kan? Misal tetap mau teguh dengan pendirian, memangnya masih sanggup bicara soal baper, kalau tiba-tiba saja si korban melakukan hal lebih gila?
Banyak sekali lho, kasus bunuh diri akibat perundungan secara mental, alias ejekan. Apakah itu salah korban yang terlalu bersikap baperan? Kalau menurutmu iya, mending tutup saja artikel ini sampai di sini. Serius, pemikiran itu untuk saya pribadi, sudah tidak manusiawi. Bisa-bisanya orang meninggal karena dihina terus-menerus, malah jadi pelaku utama. Lantas, bagaimana dengan pelaku aslinya? Dibiarkan mencari korban baper lain?
Ayolah, sedikitlah memiliki rasa empati dan saling menghargai. Tanamlah secara permanen soal tingkat baper orang memang berbeda-beda. Jangan tiba-tiba menghakimi segala, memaksa sifat orang harus semua sama rata. Tidak akan bisa, jelas tidak akan bisa. Oleh sebab itu, menghargai adalah satu-satunya jawaban jitu. Jangan memaksakan kehendak sendiri, demi terciptanya siklus komedi tingkat tinggi.
Sekali lagi, sebagai pengingat kamu dan diri saya sendiri, janganlah menyamaratakan tingkat baperan banyak orang. Kalau pada kenyataannya kita tidak lebih akrab, maka berhentilah sejenak untuk menyuarakan komedi yang sebenarnya garing itu. Berkenalanlah terlebih dahulu, amati sebaik mungkin. Kalau toh dia bisa menerima hinaan yang sudah dianggap candaan, maka lakukan. Tapi, tentu dengan kadar yang seperlunya, hanya sekedar penghangat suasana. Sebaliknya, kalau temanmu itu tak mampu menerima hinaan sekecil apapun, sikap terakhir kita adalah menghargai. Tetaplah saling mengenal, walaupun bisa jadi terkesan membosankan sebab kurang ejekan.
Berhenti mengorbankan orang lain, hanya karena ego kacangan. Berhenti merasa superior karena kuat diejek. Berhenti merendahkan karakter orang lain, yang tingkat ketersinggungannya tipis. Kalau sudah soal fisik dan mental, alangkah baiknya tahan dulu sikap egois itu. Tak ada salahnya punya sedikit sikap empati dan menghargai. Karena sekali lagi, tingkat baper orang jelas berbeda-beda.
Posting Komentar