Kali ini saya akan membahas sesuatu yang cukup aneh dan mungkin agak menjijikan. Jadi, buat kalian yang tidak mau terganggu pikirannya, saya sarankan untuk tidak membaca ini lebih lanjut. Tapi buat kalian yang fine-fine saja, dengan senang hati saya persilakan. Saya akan membahas mengenai filosofi dari kotoran sendiri. Agak aneh bukan?
Apa sih maksudnya?
Kita analogikan kotoran kita adalah aib atau kekurangan kita, dan kotoran orang lain adalah aib orang lain. Sudah terbayang apa maksudnya? Belum?Apakah kamu pernah suatu ketika kamu merasa jijik, sampai muntah-muntah ketika kamu tidak sengaja atau sengaja melihat kotoranmu keluar dari lubang pembuangan akhirmu? Saya pastikan, jarang. Kamu pasti santai-santai saja melihatnya, bukan? Mengaku saja, jangan malu-malu.
Kamu akan penasaran melihat proses keluarnya. Aroma khasnya yang begitu nyegak namun sungguh memberi candu. Variasi warna yang kuning kehijauan, hijau kekuningan, kadang bisa kebiruan. Kamu seringkali menikmati sensasi prosesnya.
Berbeda sebaliknya jika kamu melihat kotoran orang lain yang tidak sengaja kamu lihat, di manapun itu. Kamu pasti akan sangat jijik dan merasa terganggu. Secara spontan kamu juga akan menutup mulutmu rapat-rapat, mau ada baunya atau tidak. Kamu bahkan mungkin akan menghardik kotoran itu.
Berbeda sebaliknya jika kamu melihat kotoran orang lain yang tidak sengaja kamu lihat, di manapun itu. Kamu pasti akan sangat jijik dan merasa terganggu. Secara spontan kamu juga akan menutup mulutmu rapat-rapat, mau ada baunya atau tidak. Kamu bahkan mungkin akan menghardik kotoran itu.
"Anjaylah, sial banget ketemu beginian!"
Dari dua perbedaan itu, mari kita coba filosofikan dengan kehidupan sehari-hari manusia pada umumnya. Jangan berat-beratlah, sederhana saja.
Dari dua perbedaan itu, mari kita coba filosofikan dengan kehidupan sehari-hari manusia pada umumnya. Jangan berat-beratlah, sederhana saja.
Filosofi Kotoran Sendiri
Manusia pada zaman ini kadang lebih suka menilai orang lain dibanding dirinya sendiri. Ketika orang lain disekitar melakukan hal buruk, mulut kita atau pikiran kita akan berasa gatal dan ingin menghakimi orang tersebut. Baik itu hanya dengan menggosipkannya, berkomentar di sosial medianya, atau bahkan secara langsung memaki-maki di depannya. Padahal penilaian kita terhadap keburukan orang cenderung memiliki sedikit bukti, dan minim pemikiran luas. Serobot saja begitu. Asal bersalah, langsung menjadi "tuhan".Beda ketika diri kita sendiri yang bersalah. Kita cenderung tidak peduli dan tidak mau memperbaiki. Kalaupun coba diperbaiki, itu hanya karena kamu tak mau terlihat buruk lagi. Jarang ikhlas karena Tuhanmu. Macam kotoran, kamu tidak suka yang bentuknya encer, kurang aestetik saat keluar. Bagusan yang padat, jelas dan berisi, berkarakter sekali.
Jika orang menilai keburukan kita, kita akan memilih mencari pembenaran atau balik memaki. Ya... layaknya kotoran, saat kita mencium bau kotoran sendiri akan terasa tidak bau menyengat, bahkan bisa sampai menikmatinya. Acungkan tangan kalau kamu sering sengaja mencium aroma kotoranmu sendiri. Jangan sok bersihlah, dasar muna... Nggak, nggak, bercanda.
Sedangkan jika mencium bau kotoran orang lain, Respon kamu? Pasti jijiknya minta ampun. Seperti yang sudah dijelaskan tadi, kamu cenderung menghardiknya sampai bawa-bawa Tuhan. Manusia memang begitu sikapnya. Beberapa.
Filosofi lainnya, yang saya terima dari komentar Kak Lia The Dreamer (sang pemilik wordsofthedreamer.com), kamu tidak perlu tahu atau kepo dengan bentuk kotoran orang lain. Kalau memang tidak kuat, kalau memang tidak mau ribet menganalisa, hindari saja sudah. Aib orang tak perlu kamu singgung. Mereka juga punya cara sendiri untuk menikmati hasil akhir yang mereka keluarkan. Mereka juga bisa kok, memperbaiki bentuk kotoran sendiri, supaya lebih baik.
Tidak ada maksud melarang saling mengingatkan antar muslim ataupun saudara senegara. Sama sekali tidak. Tapi coba berpikirlah dahulu sebelum berbicara sesuatu. Coba lirik diri sendiri dulu, baru orang lain. Kalau masih kekeuh mau memperbaiki diri sendiri sembari mengingatkan orang, maka buatlah kalimat yang setidaknya tidak terlalu menyinggung. Coba pahami dulu bagaimana bentuk kotoran dicomberan atau di tempat umum. Kotoran itu mungkin jauh lebih aestetik dibanding punyamu. Maka turunkan sedikit keangkuhanmu kalau mau mengingatkan orang didekatmu.
Saling mengingatkan tidak ada salahnya. Dianjurkan malah. Tapi sekali lagi, buatlah komunikasinya lebih baik dan tak menyinggung. Kotoran mereka patut kita hargai, seperti menghargai kotoran sendiri.
Jadi, sudahkah kamu menemukan filosofi kotoran sendiri, yang begitu singkat di atas? Terasa menarik, aneh, tidak nyambung atau bagaimana? Atau kamu punya filosofi sendiri, yang berkaitan dengan kotoranmu? Hmm... Bisik-bisik saja di komentar. Tidak ada yang melihatnya. Dijamin aman.
Jadi, sudahkah kamu menemukan filosofi kotoran sendiri, yang begitu singkat di atas? Terasa menarik, aneh, tidak nyambung atau bagaimana? Atau kamu punya filosofi sendiri, yang berkaitan dengan kotoranmu? Hmm... Bisik-bisik saja di komentar. Tidak ada yang melihatnya. Dijamin aman.
8 komentar
Kalo pepatah "Gajah di pelupuk mata tak tampak, kuman di seberang lautan tampak" mah udah biasa.
Ini cocok bagi yg suka bilang, "Mohon maaf, sekedar mengingatkan."
Nyatanya, bener banget nier. Coba kalo mereka nggak ngeluarin pup jg kan malah masuk rumah sakit yaaa.
Karena kotoran itu tmptnya ditmpt kotor jangan diangkit dan dijadikan pembahasan utk hati kita yg lg bersih gt kaaan
Filosofinya cukup make sense dan nyambung. Benar juga ya, kalau lihat kotoran sendiri nggak sejijik ketika melihat kotoran orang lain 🤣
Filosofi lainnya adalah untuk tidak perlu tahu tentang aib orang lain. Nggak usah kepo dan berusaha mencari tahu aib orang lain 🤣
Nah, itu betul. Jangan kepo sama aib orang. Tapi bisa kok dikepoin, asal harus punya analisa yang canggih. 😂
Kadang kalau sudah gabut, keabsurdan saya bisa muncul dan kepikiran hal yang org gak pikirin. Haha