Di seberang jalan besar itu, aku sering mendapatinya tersenyum tanpa sebab. Senyum yang setiap hari tak pernah alfa. Senyum sebagai penggambaran jelas bahwa, ialah manusia tanpa masalah.
Gadis itu bernama Biru. Sudah pasti, warna kegemarannya adalah hijau. Aku bercanda, ia memang menyukai dirinya sendiri. Lihat saja, hampir semua aksesoris yang menggelantung di tubuhnya adalah biru. Ikat rambut, earphone, gelang, tas, semuanya. Hanya pakaiannya saja yang putih abu, juga sepatu.
Setiap setengah tujuh pagi, di sudut jalan itu, ia menyisir setiap kendaraan umum berwarna hijau. Kedua matanya menelisik sampai ke dalam, berharap ada satu saja yang kursi depannya kosong. Kalaupun kursi belakang sepi tanpa penumpang, ia tetap tak mau naik. Duduk menemani supir adalah kewajiban. Tidak ada penjelasan, mungkin ia takut kecantikannya digerayangi para lelaki dalam angkutan.
Aku, yang setiap hari menceritakan kesehariannya pada diriku sendiri, menunggu ia berangkat lebih dulu. Aku tak pernah mau berani menemani perjalanannya. Akan terjadi curi-curi pandang yang bahkan tidak kusadari.
Biru adalah gadis kutu buku. Setiap ada kesempatan, misalnya saat istirahat dan jam kosong, ia akan membuka lembaran buku novel. Serupa dengan kewajiban di pagi hari, di tasnya harus ada tiga novel. Novel yang belum tamat atau belum ia baca.
Jam istirahat ini, novel yang beruntung bisa dibaca Biru adalah novel bersampul oranye bergambar pohon dengan dua burung putih yang bertengger, juga bulan merah di tengah. Penulisnya bernama Andrea Hirata.
Dalam kelas, aku sering menungguinya berbicara padaku. Mengobrol soal novel-novel yang ia baca. Tentu saja, supaya aku tidak terlihat bodoh saat berdiskusi, aku selalu bertanya novel apa yang ia baca jauh-jauh hari.
Panjang lebar ia bahas semua kisah perjalanan Enong. Berimajinasi, bagaimana kiranya jika ia hidup seperti Enong. Meski kurasa mustahil, Biru adalah kesempurnaan. Penderitaan hanyalah ilusi buatnya.
Aku tak pernah keberatan menghabiskan seluruh obrolanku dengan dirinya. Malahan aku beruntung, dikala setiap lelaki di sana sulit mendekatinya. Biru tak suka basa-basi, ia muak dengan mereka yang dekat hanya karena asmara. Itulah salah satu alasan aku hanya sekedar mengaguminya saja.
Setiap jam pulang, Biru sesekali mengajakku pulang bersama. Lantas aku sering menolaknya, aku terlalu sibuk atau memang hanya sekedar alasan saja. Lagipula aku tak mau mencari masalah dengan para lelaki yang pernah ditolaknya. Trauma rasanya dipelototi seorang remaja berotot perkasa.
Biru bisa menolak hamipir tiga orang tiap bulan. Gadis itu tidak mempan dengan omong kosong sehidup semati. Untungnya ia masih tetap menghargai mereka, menolak dengan bahasa halus.
Menemani ia mengobrol saja sudah cukup. Meski kadang kala mulut ini ingin bicara, soal betapa aku menginginkannya.
Mau bagaimana lagi, Biru dan aku terlampau berbeda untuk bisa bersama. Wajah sejuk Biru harus tetap seperti itu, tidak boleh ada goresan sesentipun. Kalau aku egois menyatakan perasaanku, pasti akan terjadi masalah yang jauh lebih besar. Biru akan menghilang dari pandanganku, dan aku bisa kehilangan pekerjaanku sebagai guru.
6 komentar
Penggambarannya keren, sedikit bamyak aku betul seolah bisa merasakan kehadiran si gadis biru di depan mataku 😀
Terima kasih kak untuk komentarnya. Doakan supaya cerpen selanjutnya jauh lebih baik. He