Saya tidak akan membahas berbagai macam kebuntuan di film yang tanpa permisi melewati tahta Laskar Pelangi. Walaupun memang selera masyarakat, ya begini. Ini adalah pembahasan mengenai Pak Suripto dan Dilan, adalah kesalahan.
Saya akan lebih berfokus pada bagaimana gambaran adegan "paling maknawi", setidaknya menurut pandangan polos pak direktur. Ialah adegan paling epik dan ikonik (tidak ikonik amat sebetulnya), Pak Suripto menampar Dilan. Sesuatu yang membuat pemikiran terdalam saya tertawa melihatnya. Sungguh jenaka.
Saya akan sedikit menceritakan bagaimana adegan Pak Suripto dan Dilan itu terjadi. Supaya kamu tidak menonton ulang film yang menjual tiket lebih dari tujuh juta kali itu, lagi.
Alur/Kronologi
Bermula dari caper seorang anggota cikal bakal geng ternama saat ini, Dilan, yang berusaha mendekati seorang perempuan bernama Milea. Sang peramal penuh gimik ini, keluar barisan saat upacara bendera berlangsung, saat janji siswa sedang dibacakan.
Saat mengetahui hal itu, tentu sebagai guru yang mengawasi kekhidmatan upacara, Pak Suripto menegur remaja "kritis" itu. Sialnya, tindakan Pak Suripto memang boleh dikatakan pengecut. Alih-alih cukup memindahkan murid siswa peserta didiknya ke tempat semula, Pak Suripto justru menampar keras Dilan.
Lalu bagian yang memancing gelak tawa dimulai. Dilan, sang panglima tempur menunjukan tajinya sebagai manusia paling kritis dan pemberani di sekolah itu. Ia melawan balik, bahkan lebih gila dari yang Pak Suripto lakukan.
"Suripto! Pengecut kau!" Umpatan keluar dari mulutnya, yang lebih pantas disebut karena emosi dibanding mengkritisi.
Komedi masih belum selesai. Di ruang guru, Dilan ditemani Milea diminta pertanggung jawaban atas kelakuannya. Dilan kemudian beralasan, "siapapun dia, kalau tidak bisa menghargai orang, gak akan bisa dihargai orang Bu!" Kalimat yang sekilas memang epik dan mengandung pesan moral. Wibawa sekali memang Dilan ini.
Dilan merasa dilecehkan sebagai seorang murid. Remaja kemarin sore ini menganggap Pak Suripto kelewat batas dalam menindak kelakuannya. Dilan juga beranggapan kalau guru adalah sosok yang harus digugu dan ditiru. Maka ia tidak salah jika melawan balik guru yang juga sok wibawa itu.
Sebagai hukuman, bapak kepala sekolah mensekors Dilan. Sungguh akhir yang mengecewakan buat Dilan, kemungkinan. Tidak mungkin ia melawan balik dengan mensekors bapak kepala sekolah, bukan?
Plus (+)
Bagaimanapun, tindakan "heroik" Dilan dibidang melawan ketidakadilan masih cukup diacungi jempol. Tindakan itu bisa jadi perwakilan perasaan beberapa pelajar yang kelewat gedek dengan gurunya. Siapa tahu, Dilan-dilan lain sadar akan pentingnya melawan, namun dengan sikap yang lebih sopan.
Pak Suripto juga punya kewenangan sendiri. Sebagai guru killer di sekolahnya, ia cukup tahu bagaimana menindak muridnya yang sudah kurang aturan itu.
Minus (-)
Bagaikan mata koin, kelakuan keduanya memiliki sisi positif dan negatifnya. Namun untuk saya pribadi, Pak Suripto dan Dilan adalah kesalahan. Tindakan mereka sama-sama gila, sama-sama lebaynya. Intinya lebih banyak negatifnya.
Poin paling penting dari adegan jenaka ini memanglah patut dititik beratkan pada kelakuan Dilan. Kalau saja ia tak usah caper pada Milea, tidak mungkin kejadian itu terjadi (walaupun itu mustahil karena bisa merusak klimaks antara Pak Suripto dan Dilan yang sudah capek-capek dibangun). Apalagi kejadian tersebut terjadi saat upacara, kegiatan yang semestinya bisa mengajari Dilan, cara menghargai yang sebenarnya.
Seriusan, Dilan ini kebanyakan omong kosong. Kalimat soal menghargai saja dibantah dirinya sendiri. Di dalam upacara, banyak sekali bagian-bagian soal menghargai. Seperti mengenang jasa pahlawan, menghargai guru yang sedang berbicara di depan, serta menghargai para anggota OSIS yang sudah capek-capek mengatur teknis upacara saat latihan. Dilan dengan pengecutnya menganggap semua itu hanya omong kosong, ia seenaknya pindah tempat hanya untuk cari perhatian sang pujaan. Kayak gak ada cara lain! 😏
Saya kira, Dilan memang hanya cocok sebagai panglima tempur saja, bukan panglima yang bisa bertanggung jawab atas omongannya. Belajar tata cara menghargai lagi lah, Dilan! Pengecut!
Lalu, menyoal kalimat "digugu dan ditiru", bukannya sejak kecil kita diajari untuk mengambil yang baik dan meninggalkan yang buruk? Ataukah sebab terlalu emosional, Dilan sampai amnesia. Sekacau apapun orang, jika dia masih di atas kita, maka melawannya cukup dengan santun saja. Kalau tidak, kita sama-sama saja. Putarannya akan terus seperti itu, tidak ada yang berani mengalah.
Bagaimana dengan Pak Suripto? Aduh, Pak. Kok cara menindakmu sampai begitu? Sudah tahu Dilan itu baperan kalau diingatkan. Ini malah cari masalah lain.
Alangkah baiknya—meski tidak mungkin, karena ini film—bapak ingatkan dia untuk pindah lagi ke barisan yang benar. Meski tindakan Dilan patut ditegur, tidak perlu lah sampai ditampar. Sekali lagi, dia itu panglima tempur, jangan macam-macam.
Puncak negatifnya, adegan film di atas seolah memanas-manasi lagi kelakuan bejat siswa di dunia bukan layar kaca. Alias dunia nyata. Kalau tidak salah (tegur kalau keliru), sebelum film Dilan tayang, banyak kejadian amoral yang sering kali nebeng di headline berita. Baik maya maupun bentuk cetaknya.
Banyak para siswa yang kurang sopan terhadap gurunya, yang kemudian ditindak tegas oleh guru yang bersangkutan. Sehingga muncul laporan-laporan polisi oleh beberapa orang tua, yang juga kebaperan dengan tindakan sang guru.
Dalam lubuk hati yang paling dalam, untuk saya pribadi, pesan-pesan moral Dilan hanyalah sebuah ampas gimik supaya film ini punya sedikit kualitas, ketimbang hanya sebuah film genre percintaan. Cara penyampaiannya terlalu eksplisit, dibuat-buat, dan naif. Saat saya menontonnya di salah satu stasiun televisi, saya sulit menerima isi moral yang hendak disampaikan. Ya seperti di awal tadi, saya justru malah tertawa melihatnya. Pak sutradara harus banyak belajar dari pintu berkah Indosiar soal urusan pesan moral.
Skala Angka
- Cerita: 2,5/10
- Atmosfer: 2,5/10
- Act: 6/10
- Visual: 6,5/10
Skala angka ini hanya diperuntukan pada adegan kesalahan Pak Suripto dan Dilan tadi. Jika keseluruhan filmnya, saya bisa sedikit menerima alur cerita dan menambah skala angkanya. Meski hanya nol koma. Maka, skala angka keseluruhan adegan Pak Suripto dan Dilan ini adalah 4,4. Apakah kamu setuju? Atau skalanya terlalu besar? Mari diskusikan di bawah.
8 komentar
Tapi kalau menilik dari pendapat di atas, sangat disayangkan sih penulis membuat tokoh utama itu seolah-olah menjilat ludahnya sendiri. Entah unsur kesengajaan atau bukan. Memaksakan pesan moral dalam film yg menggebu-gebu soal asmaranya ini menurut saya toh ga mempan. Anak-anak muda banyak yg bolak balik nonton bukan karena dia terkagum-kagum sama aksi heroik Dilan menantang guru, tapi yaa karena romansa itu tadi. Pun kalau dia terkagum sama Dilan, cara menyajikan ceritanya tetap salah. Nggak heran banyak remaja yg berpikir menjadi Dilan itu keren, lalu bikin sebuah komunitas motor deh mereka tanpa atribut jelas.
Iya, saya bingungnya di situ. Kok Dilan bicara soal menghargai tapi dirinya tak mau menghargai orang. Coba saja kalau situasinya tidak perlu dalam kaitan upacara bendera, pasti akan jauh lebih baik dan pesan moralnya juga bakal kena ke penonton. Ini malah saat upacara, caper ke Milea. Padahal untuk urusan acting, Ikbal cukup menjanjikan, sih.
Mungkin disitu kali ya UwU-nya bagi anak-anak remaja zaman sekarang, Dilan terpaksa harus caper ke Milea bahkan di waktu upacara.🤦🏻♀️
Biasa aja sih kalo saya nonton film dilan ini, cuman kalo nonton geli aja sama adegan sosweetnya mereka berdua (milea dan dilan) huu
Makannya gak mau bahas secara keseluruhan, bawaannya emang bikin bulu kuduk berdiri.