Kita Hanya Berbeda Jalan,
Memilih hidup tanpa merasa berdosa berarti kamu memilih bahagia saja menjalani hidup, ceria rasa maupun jiwa. Merasa tak berdaya hanya sesekali, lewat begitu saja. Kamu anggap masalah adalah makanan pokok kehidupan yang bisa habis satu suapan. Lenyap tanpa keluarkan sedikitpun beban.
Tipe ini biasanya memang santai. Masalah berat saja bisa diselesaikan dengan cepat, sejentik jari. Biasanya jika ada masalah, tak akan disimpan lama-lama. Sebab tahu ilmunya, tahu caranya berdamai dengan masalah.
Kadang kala mereka pikir, yang menyimpan masalah hidup sama saja buang-buang waktu. Menilai dan tidak peduli soal masa lalu. Dipikirannya ia pintar dan opininya sangat bermutu. Menyindir adalah salah satu. Mengompor-ngompori dengan "halus" adalah senjata bermutu.
Kemudian, mari kita beralih kepada si pembuat onar. Semboyan yang paling umum kamu gunakan adalah, "nakal tapi berakal." Iya, menurutmu menjadi anak nakal itu tidak salah, asalkan otak masih berfungsi, pikiran masih jernih. Nakal adalah sebuah jati diri.
Manusia berkarakter nakal ini juga sering merasa bahwa nakal, tidak berarti membawa sengsara di masa depan. "Nakal dulu, baru sukses," juga adalah semboyan favorit lainnya. Kebanyakan sih karena terinspirasi dari para personel band bernama Slank. Benar, band ini adalah gambaran nyata soal nakal yang bisa membawa kesuksesan nantinya. Tapi yang saya tahu, mereka tak memiliki kebanggaan soal nakalnya dulu, tak pernah bilang nakal itu baik, justru mereka menyesal pernah begitu.
Alasan kamu memlilih hidup bertipe ini, kata banyak orang, karena ingin mencari sebanyak mungkin perhatian. Benarkah? Menurut saya begitu. Karena beruntungnya, saat kamu masih sekolah, kamu sering diperhatikan anak-anak lain, guru, bahkan kepala sekolah. Biasanya kamu selalu akan dibuat lebih baik oleh gurumu. Kalau nakalmu keterlaluan, ya kena hukuman. Tapi kamu tidak peduli juga sebenarnya, asal manut saja, sudah biasa soalnya.
Memilih menjalani hidup dengan kenakalan artinya siap diperguncingkan tetangga juga. Kebanyakan omongan yang datang adalah tidak sukanya mereka pada orang yang sikapnya semacam ini. Tidak peduli soal latar belakang masa lalu, bagaimana si anak nakal ini bisa begitu. Kamu sampah masyarakat! Itu yang harus kamu tahu.
Tapi, setidaknya anak-anak ini adalah pekerja keras, meski jalannya disebut salah. Setidaknya mereka punya begitu banyak pengalaman bersalah bila akhirnya sadar. Siapa tahu, semboyan-semboyan yang keluar dari omongan mereka bukan sekedar kata-kata bergaya belaka.
Terakhir, manusia pemilik nama alias terbanyak. Si pendiam, alias si cupu, alias si culun, alias si penyendiri, alias si tanpa gaul atau nolep, dan masih banyak alias lainnya. Berat ya jadi kamu?
Orang yang lebih memilih menghindari kerumunan ini hidupnya memang kebanyakan sepi. Ya... namanya juga suka menyendiri. Kalau dipaksakan ngumpul, rasanya otak mau pecah, keringat sampai membasahi kerah, jiwa dan gerak-gerikmu sangat jelas gundah.
Di sisi lain, hatimu juga sering merasa ingin punya banyak perhatian, semacam si nakal. Tapi apalah daya, tipe ini tak banyak diperhatikan. Guru-guru merasa kamu baik-baik saja, hanya banyak diam bahkan saat ditanya. Gilanya lagi, kamu sering jadi bahan ketawa.
Si pendiam ini juga sangat terbiasa dengan celaan mereka yang merasa tanpa dosa, juga bully-an para pembuat masalah. Macam daging empuk saja.
Karakter ini memang sering dianggap aneh. Seakan jadi minoritas terbawah. Maka kadang kala, atau malah sering, orang-orang menganggapnya lebih sampah daripada yang dianggap sampah. Keculunan mereka sering juga dikonotasikan tidak bisa apa-apa, lebih dianggap bodoh lah.
Padahal nyatanya tidak, bujang. Tipe semacam ini justru jadi pemikir ulung. Tak banyak bicara, takut membuat orang tersinggung. Dan bila ada sahabat dekatnya yang tersinggung, ia akan merasa bersalah tanpa ujung.
Maka, Saling Menghargailah
Semua pemilik karakter di atas, sering kali bersinggungan satu sama lain. Terlebih si anak nakal dan pendiam atau penyendiri. Si nakal mencibir langsung tanpa basa-basi, sedang si penyendiri punya caci maki dalam hati. Dua-duanya tak mau kalah, dua-duanya merasa menang dengan caranya.
Si tanpa merasa banyak dosa pun, hanya merasa tanpa dosa. Padahal dengan menilai tanpa tahu masa lalu, juga sangat salah. Lah, apa gunanya otak encer tapi tak punya perasaan. Bukan begitu, wahai anak yang padahal pintarnya tidak terlalu?
Apa salahnya sih kita coba sedikit membuka hati? Mencoba saling memahami. Karakter yang tercipta di bumi pasti punya arti. Bukannya malah saling hajar sana-sini, sindir menyindir kanan kiri. Toh ya, tidak ada ruginya sama sekali jikalau kita mau saling menghargai dan coba memahami. Serius. Asli.
Coba bayangkan, jika gambaran di sebuah ruang kelas semacam ini:
Si pendiam duduk di bangkunya saat jam istirahat. Lalu tiba-tiba datanglah si anak nakal, coba mengajak ngumpul, nongkrong-nongkrong. Si pendiam jelas geleng-geleng saja, pertanda menolak. Lalu si nakal hanya bicara, "Siap bos! Gak apa-apalah. Kalemin aja di sini, kalau ada yang ganggu kasih tahu."
Selang beberapa lama setelah si nakal pergi, datang sang manusia tanpa merasa dosa. Dengan santainya ia mengajak ngobrol si pendiam itu. Jelas akan sangat sulit mengajaknya ngobrol, tapi dengan sabar ia tetap menemani si pendiam sampai masuk kelas. Sambil sesekali nanya-nanya ringan, dan ternyata si pendiam merespon dengan sangat singkat, namun begitu berarti buat si tanpa dosa ini.
Ilustrasi macam itu, menurut saya sangat menyenangkan jika terealisasi. Semua saling bahu-membahu, tanpa ada ucapan-ucapan yang memunafikan. Saling menolong dengan apa yang diperlukan.
Saling menghargai sangat penting. Karena jika sudah terjadi, saya jamin kehidupan akan jauh lebih damai dan tentram tanpa dendam. Saling merasakan. Saling tahu karakter masing-masing artinya kita akan mencipatakan kebahagiaan yang sesungguhnya, sesuai dengan harapan sendiri. Kita hanya berbeda jalan, maka saling menghargailah.
Posting Komentar