Cukup seru menurutku jika diceritakan di sini. Apalagi saat mengingat-ngingat masalah teknis yang cukup lucu. Jika kau tak tertawa, berarti kami saja yang menganggap itu lucu. Atau cuma saya?
Membetuk Tim
Dosen kami yang bernama ayah Pak Kiki kebetulan membebaskan kami mengatur kelompok. Aturannya hanya dua; terdiri dari 4 orang, dan tidak boleh mengambil dari kelas lain. Maka, dengan sangat otomatis aku dan dua kawanku membentuk tim. Satu slot tersisa masih dalam perundingan.
Pada awalnya aku akan mengajak satu orang kawanku lagi, alumnus Daun Ngora Production. Sebuah komunitas kecil yang gagal total. Seperti namanya, ngora. Tapi karena aturan kedua menghambat, aku tak jadi mengajaknya. Kupikir sayang sekali. Pasalnya ia memiliki jiwa aestetis yang bisa diandalkan. Friady namanya.
Lalu kuperhatikan beberapa orang di grup mata kuliah yang belum memiliki tim. Dan satu nama langsung kutandai, seorang mahasiswi bernama Walidatu Solikhah Sholikhah yang beberapa kali memiliki pikiran yang sama. Menghargai. Kuajaklah ia, dan setujulah ia. Sederhana sekali.
Dua kawanku? Mereka setuju-setuju saja, yang penting mahasiswi bukan mahasiswa. Ah, saya tahu pikiran mereka.
Ide dan Konsep yang Berubah-ubah
"Bagaimana mungkin kita membentuk kelompok, tapi masing-masing dari kita harus membuat satu video?" Begitulah ketusku pada sosok yang sering berbicara dalam otakku. Ya, pada awalnya kami ditugaskan begitu. Satu orang, satu video dengan durasi 4 menitan kalau tidak salah.
Aku sering membuat video-video pendek 3 menitan. Dan aku tahu betapa melelahkannya itu. Aku bisa merekam berjam-jam untuk 3 menit itu. Belum mengeditnya, mencari feel, dan tektek bengek lainnya.
Yang pada awalnya kami sudah memiliki ide dan konsep video, seketika buyar. Masing-masing dari kami sibuk mencari ide sendiri. Aku dengan ide "Para Pekerja Jalanan", Sukma dengan mendaki gunungnya, Walida dengan tips dan triknya, serta Helni dengan belum punya idenya. Sibuk sekali.
Padahal awalnya kami sudah sepakat dengan ideku. Hanya karena kekagetan kami, ide itu seketika hanya jadi opsi.
Kabar baik kemudian datang, Pak Kiki mengubah tugasnya. Kini, lebih manusiawi. Satu kelompok, satu video berdurasi 8-10 menit. Fiks, ideku terselamatkan.
Sayang sekali kabar baik itu tak berlangsung lama. Masalah baru datang, masalahnya...
Teknis, Teknis, Teknis!
Kebetulan aku memiliki handycam yang masih bagus untuk merekam momen para pekerja jalanan. Akan tetapi teledorku menyebabkan rencana kelompok kami gagal lagi. Aku tak sengaja membuat layar handycam itu blank, hanya layar hitam saja. Sial sekali nasib kelompok ini.
Sebab mahasiswa identik dengan namanya SKS, kamipun bergerak cepat memilih opsi lain. Opsi dari Sukma, mendaki gunung. Sesuatu yang seru, pada awalnya.
Sukma itu serba berpengalaman soal mendaki, ia tahu dan paham ribetnya barang-barang gunung yang harus dibawa. Ketika berbicara peralatan gunung, berarti bicara pula uang, dan uang cukup sensitif buat mahasiswa. Buat semua juga sebetulnya.
Tapi daripada sibuk nyari ide lagi, mending kami setujui saja. Toh, pasti akan jadi pengalaman buat kami.
Lah, kami lupa, alat rekamnya bagaimana? Pak Sukma kembali menjawab kegundahan itu. Dia sultan, tinggal jual Iphone 6 nya, tambah beberapa ratus ribu, jadilah ponsel berkamera cukup berkualitas. Sudah, tak perlu risau.
Prak!
Jumat, selepas selesai salat jumat, kami berangkat. Gunung Sawal yang kami tuju, tidak jauh dari Tasik juga dekat dengan rumah Sukma. Yap, lagi-lagi Sukma.
Ngomong-ngomong, kami hanya berangkat bertiga. Para pria saja. Satu-satunya wanita, tak ikut dengan alasan yang saya lupa apa. Kami para pria juga tak enak kalau mengajaknya. Ya sudahlah, dia jadi penulis naskahnya nanti.
Sampailah kami di tempat tujuan. Semua peralatan dikeluarkan. Kamera ponsel, stabilizer murah, dua botol air mineral besar. Tiga, dua, satu... Action! Inilah hasilnya:
Bagaimana, keren kan? Haha. Aku, kami tak habis pikir video sederhana itu bisa menembus 4ribu lebih penonton. Senang rasanya. Komentar-komentarnya pun masih sangat positif.
Untuk seukuran kami para mahasiswa pendidikan Bahasa, membuat karya semacam ini sudah cukup memesona diri sendiri. Janganlah dibandingkan dengan Agung Hapsah, aduh jangan. Intinya kami sangat senang membuat karya ini. Terima kasih untuk Pak Kiki, yang berhasil menarik kreatifitas kami yang tenggelam lama akibat tugas berbentuk makalah bertubi-tubi.
Sepertinya kalau kami sudah lulus, perlu membuat macam begini lagi. Untuk salam perpisahan. 🤔 Ide bagus.
Posting Komentar